Melihat dari kemajuan jepang, memang Jepang patut diacungi jempol. Paling tidak untuk konsep awal sebuah generasi baru rumah ramah lingkungan yang memadukan tradisi Jepang, teknologi serta pemikiran untuk berkontribusi dalam menangani pemanasan global.

Jepang sudah bermimpi, rumah ini akan menjadi rumah masa depan yang peduli bumi. Semua energi dalam Zero Emission House yang digunakan untuk ‘menghidupkan’ rumah, berasal dari alam. Penerangan serta pendingin atau penghangat ruangan, misalnya, tak memerlukan listrik dari luar sehingga kita tidak perlu lagi membayar listrik dan menimbulkan pencemaran karena pembangkit yang menggunakan BBM.

Konsep Zero Emission House ini diperkenalkan secara khusus kepada Indonesia melalui Indonesia-Japan Expo 2008 yang diselenggarakan oleh surat kabar nasional Kompas dan surat kabar Nikkei dari Jepang dari tanggal 1-9 November di JIexpo Kemayoran Jakarta.

Chief Officer Coordination and Management Division Energy and Environment Technology Center NEDO, Mitsuhiro Yamazaki, mengatakan Zero Emission House yang dikembangkan oleh The New Energy and Industrial Technology Development Organization (NEDO) baru saja diluncurkan dalam KTT G8 di Hokkaido Toyaka medio tahun ini. NEDO baru membuat satu unit prototipe rumah ini di distrik Ibaraki.

Dari alam dan ramah untuk alam

Energi yang menghidupkan rumah pun tak satupun yang memerlukan listrik dari luar. Semua diusahakan sendiri oleh sistem panel surya dan pembangkit listrik tenaga angin skala kecil.

Energi matahari diserap oleh panel surya yang dipasang di atap. Lalu energi tersebut disimpan di baterai dan diolah menjadi listrik oleh power supply. Kapasitas penyimpanan baterai lithium mencapai 6.000 watt.

“Jadi ketika seminggu tidak ada matahari, tetap ada tenaga cadangan,” ujar salah satu penjaga stan NEDO.

Namun, energi matahari bisa saja meredup berminggu-minggu ketika musim hujan atau dingin di Jepang. Hal itu tak masalah, karena rumah dapat memperoleh energi dari pembangkit listrik tenaga angin berbentuk baling-baling dengan sistem penyimpanan yang sama di baterai dan power supply.

“Hemat energi banget. Jadi kita nggak usah bayar listrik lagi deh di masa depan karena listriknya dari matahari. Matahari kan gratis,” ujar penjaga stan tersebut kepada sejumlah siswa SDN Pondok Pinang 12 Pagi Jakarta Selatan yang berkunjung melihat miniatur rumah ramah lingkungan tersebut.

Energi yang disimpan dan diolah menjadi listrik itu akhirnya mampu memanaskan air dan menghidupkan alat penerangan berteknologi OLED yang cahayanya mirip dengan cahaya alam. Jika cahaya bohlam hanya sekitar 10 persen dari cahaya alam. Teknologi OLED mencapai 70 persen. Selain itu, rumah ramah lingkungan nol emisi ini mengupayakan pula sistem pencahayaan mirror duct.

Cahaya dari luar dimanfaatkan untuk penerangan ruangan pada siang hari. Tak hanya teknologi elektriknya, dari segi fisik, rumah ini dibangun dari semen daur ulang yang disebut Eco-cement. Mutu semen sisa pembakaran limbah sampah kota ini dinilai hampir sama dengan semen biasa.

Material perabot rumahnya pun berasal dari bahan kayu sisa pembongkaran bangunan dan hasil penjarangan yang diolah dan direkatkan dengan lem ramah lingkungan dari tannin (di kulit kayu dan daun). Dindingnya pun dilengkapi dengan papan insulasi panas hibrida yang membuat panas terik matahari tidak berpengaruh terhadap suhu di dalam rumah. Teknologi ini membuat rumah tetap adem dan nyaman.

Masih mahal

amun, Yamazaki mengakui investasi prototipenya di Ibaraki masih mencapai angka 100 juta yen atau sekitar Rp 9-10 milyar. Saat ini, Jepang sedang berupaya mengembangkannya di Ibaraki dengan memaksimalkan perpaduan teknologi lingkungan, teknologi konservasi energi dan teknologi energi terbarukan.

“Supaya makin murah, bisa dipakai (banyak orang) dan tetap menjadi solusi ramah lingkungan,” ujar Yamazaki.



karya : noe abdee Labels:

0 kritik dan saran:

Posting Komentar

jam